16 Juli 2009

Redaksi Esensi

Dunia merupakan bayangan kelezatan yang abadi, namun jutaan anak manusia banyak yang terjebak. Tipuannya memang manis, menjanjikan sejuta khayal, membuat jiwa terlena oleh bayangan yang belum tentu mampu membahagiakan manusia.

Sejuta tangan dunia, terus merangkul jiwa-jiwa yang lumpuh. Hati mereka beku oleh beratus jenis kemaksiatan yang dilakukan berjuta dosa yang tidak dirasakan. Kematian hati mereka sebuah tragedy yang menggigit setiap orang yang tidak memahami kondisi.

Logo ekonomi bertengger dimana-mana. Slogan untung dan untung terus sambung menyambung. Prestasi bukanlah suatu kepastian, namun tipuan merupakan usaha basa-basi, jika tidak jeli teruslah menjadi korban kejahatan orang lain. Pengorbanan, inginnya sekecil-kecilnya, lalu laba berada di atas langit. Usaha apapun demikian adanya. Jiwa berkorban sudah tidak lagi memasyarakat, justru yang berkembang jiwa memangsa korban, tidak peduli halal atau haram.

Gaya hidup serba “wah” adalah tren. Tanpa mereka mau tahu kalau di jauh sana anak-anak kecil kelaparan. Mereka tetap tertawa penuh canda, tak terliha tsedikitpun rasa iba dalam hati. Itulah wujud manusia serakah, yang hanya memburu dunia untuk memenuhi selera nafsunya.

Jika hidup bermesraan dengan zaman memang serba susah, ribuan rumusan hidup dan gaya hidup menarik ke kanan dan ke kiri tanpa arah tujuan yang pasti. Jiwapun menjadi merana, tidak jelas mau mengikuti alur yang mana. Jalan lurus atau jalan syetan Laknatullahi Alaih.

Andaikata kita mau jujur, tepo seliro, mengaca diri, mau merenung sejenak banyaklah perilaku yang ambisius mengikuti kelakuan orang yang tidak berpikir. Dunia dikuras hanya untuk kepentingan nafsu, bukan kepentingan bersama.

Dalam Qur’an, Allah menyerukan agar kita hidup untuk tidak menghabiskan kesenangan duniawi belaka. Akhirat tidak diperhatikan, padahal akhirat tempat kembali yang kekal. Dunia dengan segala keterbatasannya telah dijadikan tuan dan tuhan. Segala sesuatu diukurnya dengan tuhan uang dan tuhan harta lainnya.

Rasulullah SAW adalah figur sosok yang paling utama di dalam kehidupan seorang muslim. Beliau memiliki ribuan kesempatan untuk memperkaya diri sendiri, bahkan beliau ditawari untuk menjadi penguasa politik di jazirah Arab. Namun beliau enggan menerima semua tawaran itu yang tinggal maunya saja, mak dicapailah segala kebesaran dunia. Nabi Muhammad SAW menyadari penuh bahwa kebesaran dunia adalah fatamorgana yang hanya lenyap dalam sekejap. Sementara akhirat yang kekal adalah tujuan utama misi kehidupan manusia.

Ketajaman akal pikiran dan mata hati beliau begitu mengagumkan. Beliau tidak tertipu oleh penglihatan mata lahir. Ketajaman mata hatinya begitu kuat, suci dan mulia. Pantas beliau kemudian mendapatkan pujian Allah dalam Al-Qur’an sebagai hamba yang pandai bersyukur.

Umar Bin Khattab sahabat yang terkenal keras hatinya kuat apabila memiliki keinginan, sering menangis tatkala menjumpai orang yang paling dicintai dan dihormatinya tertidur dengan bantal tangan alas tikarpun hanya separuh dengan dibagian kepala pelepah kurma. Umar menangis meliaht kesederhanaan beliau padahal kaisar Persia, Romawi, dengan keangkuhannya tidur di atas sutra, hidup dengan penuh kemewahan dunia.

Gaya hidup yang monoloyaliti (Tauhidullah), inilah yang kemudian oleh generasi pertama umat Islam berhasil diwujudkan. Mereka tidak dijerat oleh gurita zaman yang menyeret gaya hidup ke sana ke mari.

Posted by Pw PII Sumut on 20.33 in     No comments »

0 komentar :