12 Januari 2009

Oleh : Usman Harahap

Siang itu terasa begitu lelah, kubaringkan tubuhku dilantai teras sebuah mesjid dikawasan Lubuk Pakam kabupaten Deli Serdang. Mesjid Takwa muhammadiyah Lubuk Pakam, itulah tempat yang sering kujadikan sebagai tampat persinggahan jika aku merasa lelah dan penat mamikirkan amanahku sebagai kabid kaderisasi Pengurus Daerah Pelajar Islam Indonesia (PII) Deli Serdang periode 2005-2006.


Ada satu tempat lagi yang sering kujadikan tempat persinggahanku selain mesjid takwa muhhammadaiyah, yaitu jalan Sunda Bakaran Batu Lubuk Pakam. Kesanalah aku biasanya selalu pergi untuk menenangkan fikiran sekaligus meminta saran dan masukan. Ya, jalan Sunda Bakaran Batu. Dirumah yang sederhana namun penuh kedamaian didalamnya. Hadi Siswanda, dialah sosok yang selalu memberikanku nasehat dan semangat. Di kediamannya lah aku selalu pergi jikalau aku sedang memiliki masalah. Dia merupakan profil ideal seorang kanda bagiku. Dia adalah seorang mantan kabid PPO PW PII SUMUT periode 2003-2005.

Tubuhku yang sudah begitu lelah mengayuh sepeda bototku dari Tanjung Morawa menuju Lubuk Pakam dalam rangka mempersiapkan training terpadu (BATRA dan INTRA) serta kursus terpadu (LMD dan KP) akhirnya terkapar diteras mesjid. Bagaimana tidak, jarak yang begitu jauh harus ditempuh dengan sepeda botot yang sudah tidak layak pakai yang jika dinaiki maka sepanjang perjalanan akan bernyanyi (sirait… sitorus… sirait… sitorus…. galingging ).

Hal ini diakibatkan oleh kondisi persiapan training yang tidak juga kunjung selesai hingga H-5. permasalahn tempat yang belum ada, gambaran peserta yang masih mengambang, kebaradaan konsumsi yang belum jelas, serta keberadaan keuangan yang hanya berjumlah Rp 50.000.
Sementara itu seluruh teman-teman di Pengurus Daerah sedang mengikuti LBTD yang juga diadakan oleh PD PII Deli Serdang yang baru akan berakhir H-2. Sehingga akhirnya hanya menyisakan dua orang personil pengurus yang siap menjadi panitia yaitu aku dan Dedek Prayogi. Sementara Dedek sendiri harus menjadi panitia tunggal di LBTD. Dan mau tidak mau akhirnya aku juga harus menjadi panitia tunggal mengurus training dan kursus terpadu.
Hal ini membuatku lelah dan pusing. Sambil berbaring diteras mesjid tanpa kusadari air mata mengalir membasahi pipiki yang sudah terlihat kusam dan pucat karena kelelahan. Aku bingung dan tak tahu harus berbuat apa lagi. Bagaimana tidak, urusan birokrasi terlalu berbelit-belit, menemui Keluarga Besar namun hasilnya nihil. Saat itu yang bisa kulakukan hanya menangis, namun dalam hati aku berkata, “ Bodoh, Jangan cengeng usman kamu pasti bisa…! ”. Akhirnya aku berfikir bahwa aku memang tidak boleh cengeng. Dan kuputuskanlah untuk mengayuh kembali sepeda bototku menuju jalan sunda lubuk pakam menemui kanda Hadi Siswanda.

Bertemu kanda Hadi Siswanda semangatku kembali bergelora. Entah memakai mantra apa ia memberiku semangat. Pakai mantra Mak Lampir atau mantra Dedi corbuzer. Yang pasti dia selalu menjadi penyemangatku.

Akhirnya dengan semangat yang ada kukayuh lagi sepeda botot itu dengan tenagaku yang masih ada untuk memanfaatkan waktu yang tersisa dengan semaksiaml mungkin untuk menemui sekolah-sekolah untuk mencari peserta sekaligus mengajukan permohonan tampat pelaksanaan training.

Alhamdulillah H-1 permasalahan tempat dan peserta sudah selesai. Namun mengenai konsumsi masih juga belum ada jalan terang sementara keberadaan keuangan belum juga bertambah. Hal ini terjadi sampai pada hari H. melihat kondisi ini air mataku kembali mengalir, aku sudah begitu lelah, tenaga juga sudah habis dan kakiku mulai gemetar. Tangisku semakin menjadi ketika melihat jumlah peserta yang ternyata jauh diatas perkiraan. Aku menagis karena memikirkan bagaimana cara menyediakan konsumsi mereka.

Melihat kondisi ini Dedek prayogi dan Muhammad yusuf memberiku semangat. Mereka yang baru pulang dari LBTD menyuruhku untuk tidak usah memikirkan hal ini dan menyuruhku untuk mepercayakannya pada mereka. Dedek dan Yusuf bagiku adalah dua sosok yang unik, lucu, dan yang penting keduanya begitu pandai mengelola keuangan sehingga kuanggap sebagai bapak rumah tangganya di PD PII Deli Serdang.

Keuangan yang hanya berjumlah Rp 50.000 digunakan dan dikelola dengan sebaik-baiknya. Dengan keuangan yang hany Rp 50.000 bisa dimanfaatkan dengan baik hingga training dan kursus terpadu selesai tanpa kekurangan apapun.
Aku tak tahu bagaimana mereka mengelolanya. Yang aku tahu mereka menemui rumah-rumah para kader dan simpatisan PD PII Deli Serdang untuk meminta bantuan sembako (beras). sementara pengurus yang lain membawa lauk pauk dari rumah masing-masing yang jenisnya selalu beragam , serta sayur mayur yang ada diladang mereka. Maklum penduduk Deli Serdang masih banyak yang bermata pencaharian sebagai petani.

Pada saat menjelang penutupan acara aku menangis dengan sejadi-jadinya. Tapi kali ini tangisan yang berbeda. Kali ini adalah ungkapan bahagiaku yang tak tahu bagaimana cara mengungkapkannya. Aku seakan-akan tidak percaya. Aku merasa bahagia karena hal yang kuperjuangkan ternyata dapat selesai juga sampai akhir.

Subhanallah, maha suci Allah.
Sebuah kenangan yang yang tak bisa kulupakan.
Kenangan yang pahit tapi indah.
Sebuah kenangan yang penuh hikmah.
Posted by Pw PII Sumut on 21.17 in     3 comments »

3 komentar :

Anonim mengatakan...

Hiks... Hiks... Hiks...

PII memang menyedihkan sekaligus mengharukan...

Keep Spirit Ketua!!!

Anonim mengatakan...

mantap.....

menangis di PII itu ga akan terlupakan lae....


semangat yoo,,,,,

Anonim mengatakan...

maaf wlpn terlalu telat q baca tulisan mu ini man,,tp aq yakin itu pula lh yg membuat qt tag bs melupakan PII..krn disini qt selalu di tempah(red.dipaksa oleh keadaan tepatnya) utk bersikap cepat dan tepat dlm mengambil keputusan,,,
sehingga itu pl lh yg membedakan qt dgn ank ln yg tag berPII...dan akan terbawa ke kehidupan sehari2 qt yaitu bersikap cermat,cepat dan tepat dlm mengambil keputusan...
terimakasih PII,kau dgn smua keterbatasan mu,,kau tlh mendidik km menjadi pribadi tangguh dan never give up..