21 April 2014


PEJUANG WANITA SEBENARNYA


Ingat 21 April, setiap orang langsung ingat RA Kartini. Wanita asal Jepara ini dicatat sebagai pahlawan bagi kaum perempuan karena surat-suratnya kepada kawan Belandanya. Namun, tak ada peringatan meski sesungguhnya perjuangan yang lebih riil telah dilakukan seorang Rahmah El Yunusiyyah terhadap kaum perempuan di Sumatera Barat .

Rahmah El Yunusiyyah bersama kakaknya Zainuddin Labai El Yunusy telah mendirikan Sekolah Diniyyah Putri di Padangpanjang, merupakan perguruan wanita di Indonesia yang sebenarnya adalah bagian dari rangkaian sejarah pendidikan nasional
Rahmah El YunusiyyahRahmah El Yunusiyyah Meski tak seharum Kartini, bahkan seperti dilupakan, Rahmah El Yunusiyyah dikenal sebagai tokoh pendidikan di Sumatera Barat yang telah memajukan dan mengangkat harkat kaumnya. Namanya tidak saja popular di Sumatera Barat tetapi juga terkenal hingga ke Malaysia. Dengan semangat yang kuat demi kemajuan kaumnya, ia rela bersusah-susah mengantarkan putri-putri lulusan Diniyyah Putri Padangpanjang ke Malaysia untuk mengajar disana. Akhirnya, dengan kehadiran mereka di Malaysia, banyak orang tua di negeri jiran itu yang menitipkan putrinya untuk bersekolah dan dididik di Perguruan Diniyyah Putri Padangpanjang. Diantara anak didiknya ada yang sudah berhasil seperti Puan H.Aisyah Gani. Perempuan yang belajar tahun 1936-1939 ini pernah menjabat Menteri social. Selain itu juga ada muridnya yang menjadi senator di Penang.

Pada tahun 1955, ketika Syekh Jami Al Azhar, bernama Syekh Abdurrahman Taj berkunjung ke Indonesia, beliau menyempatkan datang ke Diniyyah Putri Padangpanjang. Dengan tulus ia menunjukkan kekagumannya pada perguruan asuhan Rahmah. Sebagai penghargaan, beliau mengundang Rahmah ke Al Azhar University Mesir untuk berbagi pengalaman. Ketika itu di Al Azhar akan membuat satu kelas khusus pendidikan putri “Kulliyatul Banat”

Dua tahun setelah itu, Rahmah menunaikan ibadah haji. Kesempatan itu dimanfaatkan Rahmah untuk memenuhi undangan ke Mesir. Disana ia disambut bukan sebagai encik Rahmah tetapi sebagai Syaikhah, gelar kehormatan agama tertinggi yang diberikan kepada perempuan.

Perjuangan Rahmah terhadap kaum perempuan diawali saat menghadapi kenyataan bahwa di Diniyyah Putri pelajaran keperempuanan sangatlah terbatas. Banyak persoalan perempuan yang masih samar. Ia ingin persoalan itu dibahas secara mendalam. Menurut Rahmah persoalan perempuan itu sangatlah kompleks. Ia sering mendengar suara sumbang yang mengatakan perempuan adalah makhluk yang lemah. Itulah yag mendorongnya untuk mendirikan sekolah yang bisa memunculkan karakter perempuan yang utuh di tengah masyarakat. Dalam pikirannya, perempuan haruslah serba bisa daan punya bekal dalam menghadapi semua tantangan. Karena alasan itulah Rahmah terus berusaha menambah ilmunya dalam segala hal.

Harapan Rahmah terwujud pada 1 November 1923. Didukung kakaknya Zainuddin Labay dan atas persetujuan kawan-kawan perempuannya di PMDS (Persatuan Murid-murid Diniyyah School) didirikanlah sebuah taman pendidikan agama khusus untuk kaum perempuan yang diberi nama “Al Madrasatud Diniyyah” atau Meisjes Diniyyah School (Sekolah Diniyyah Putri). Mulai dibuka, pelajaran dilaksanakanhanya pada robat Masjid Pasar Usang dengan 71orang murid.

Selama pendidikan berlangsung mereka hanya duduk bersila di atas tikar sambil membacakitab yang semuanya berbahasa Arab. Pada mula berdirinya, banyak tantangan dan cemoohan yang ditujukan kepada Rahmah dan murid-muridnya. Pasalnya, masyarakat sekitar masih menganggap kaum perempuan hanya sebagai penghuni dapur, tidak layak belajar ataupun mengajar. Namun tantangan itu tidak dipedulikannya.

Suara-suara bernada cemooh itu justru dijadika cambuk yang semakin meningkatkan semangat Rahmah.Baginya, perempuan memiliki peranan penting dalam pembangunan. Perguruan Diniyyah Putri menjalankan pendidikan berlandaskan ajaran Islam yang bertujuan membentuk putri yang berjiwa Islam, cakap, aktif dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat.

Rahmah ingin perempuan yang dihasilkan adalah perempuan yang ideal, sehingga dalam perguruan itu Rahmah tak hanya mengajarkan agama, tetapi banyak pengetahuan mengenai keperempuanan. Dalam pikirannya, salah satu cara mengangkat derajat kaum perempuan adalah melalui pendidkan yang selayaknya dilakukan oleh perempuan itu sendiri.

Sembilan bulan perguruannya berdiri, Zainuddin Labay, kakaknya meninggal dunia. Dengan ketiadaan Zainuddin, orang menduga akan tamatlah riwayat Diniyah School dan Al Madrasatud Diniyah. Ternyata dugaan itu keliru. Rahmah pantang menyerah. Tawaran agar Diniyah diserahkan kepada Muhammadiyah dan diubah namanya menjadi Aisyah School atau Fathimiyah School, langsung ia tolak. Rahmah tetap konsekwen dengan cita-cita nya. Semangatnya justru semakin berkobar dengan ide-ide yang semakin berkembang. Bahkan ia membentuk Sekolah Menyesal , berupa kegiatan disamping Al Madrastud Diniyah untuk memberantas buta huruf. Kegiatan in dilakukan pada malam hari bagi perempuan-perempuan rumah tangga yang ingin belajar tulis baca.

Semangat perjuangan Rahmah semkain bergelora, sehingga ia tidak peduli pada harta kekayaannya sendiri yang perlahan-lahan ikut terkuras untuk membiayai perguruan dan asrama. Untuk operasional sekolah, tidaklah memadai dengan mengandalkan uang sekolah murid-muridnya. Rahmah tak kehabisan akal. Ia mulai melakuka perjalanan ke daerah lain seperti Aceh, Sumatera Utara dan Semenanjung Melayu. Di tiap kesempatan, Rahmah selalu menyampaikan ide, impian dan tujuan perguruannya.

Di Semenanjung Melayu, Rahmah memperoleh kesempatan mengajar di sekolah kerajaan untuk putri Sultan. Perjuangannya tak sia-sia. Negara-negara luar mulai mengenal dan memberikan perhatian. Sumbanganpun mengalir sehingga ia berhasil membangun perguruannya. Bakan pemerintah di Mekkah, Madinah, Kuwait, Mesir dan lain-lainnya meminta murid Diniyah belajar di negara mereka.

Perjalanan dalam pembangunan sekolahnya meski mendapat bantuan dari luar, tak selalu berjalan mulus. Bencana gempa yang menghancurkan Padangpanjang ikut meratakan bangunan yang telah ia rintis sedikit demi sedikit dari bantuan pihak lain. Beberapa hari setelah gempa, seuruh murid pulang ke kampungnya. Cobaaan itu terasa sangat berat. Betapa susahnya Rahmah mencari dukungan dana, setelah berjaya, dalam sekejap, bangunan itu langsung luluh lantak.

Meski demikian, ia tetap tabah dan tawakal. Dbatu majelis guru dan murid-murid Thawalib School Padangpanjang ia mendirikan asrama dan ruang belajar sederhana, bangunan bambu beratap rumbia, berlantai tanah. Saat murid-muridnya sudah kembali, pendidikan bisa berlangsung. Rahmah kembali berkeliling mengupayakan pembangunan perguruannya.

Rahmah dikenal sebagai nasionalis sejati. Dengan pemerintah Belanda, Rahmah berpegang pada paham non kooperasi. Tawaran Belanda memberi subsidi untuk Diniyah Putri ditolaknya tanpa berpikir dua kali. Rahmah tidak ingin perguruannya berada dibawah pengaruh Belanda. Ia juga tidak mau perguruannya terlibat dengan politik atau organisasi keagamaan lainnya. Karena ketegasan dan penolakannya, gerak gerik Diniyah Putri selalu diawasi oleh pemerintah Belanda.

Tahun 1952, Belanda mengeluarkan dua peraturan yaitu ordonansi kawin bercatat dan sekolah-sekolah swasta (liar) yang tidak dapat diterima oleh umat Islam Indonesia dan kelompok perguruan swasta. Dimana-mana muncul panitia penolakan ordonansi tersebut. Panitia penolakan ordonansi sekolah-sekolah liar di Padangpanjang diketuai oleh Rahmah.

Pada zaman penjajahan Jepang, Rahmah pun aktif melalui sejumlah organisasi social politik yang dianggap efektif untuk memperjuangkan bangsanya. Rahmah dan beberapa
Temannya mendirikan ADI (Anggota Daerah Ibu) Sumatera Tengah. Tujuannya menentang pengerahan kaum perempuan Indonesia terutama di Sumatera Tengah sebagai jugun ianfu (perempuan penghibur) tentara Jepang. Kelompok ini menuntut pemerintah Jepang agar menutup rumah kuning (istilah untuk prostitusi waktu itu) karena tidak sesuai dengan kebudayaan Indonesia dan agama yang dipeluk penduduknya. Tuntutan itu ternyata berhasil. Perempuan Indonesia tidak lagi menjadi budak pemuas nafsu seks tentara Jepang. Sebagai gantinya, Jepang mendatangkan perempuan-perempuan dari Singapura dan Kores.

Tahun 1945, tepatnya 12 Oktober, Rahmah mempelopori berdirinya TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang anggotanya berasal dari Laskar Gyu Gun. Dapur asrama dan harta miliknya direlakan untuk pembinaan TKR yang rata-rata masih muda usia. Ia tidak hanya terkait dengan BKR, TKR, TRI (kemudian berubah jadi TNI), tetapi juga mengayomi barisan pejuang yang dibentuk organisasi Islam seperti laskar Sabilillah, laskar Hizbullah dan lain-lain. Karena sifatnya yang mengayomi, pemuda-pemuda pejuang kemerdekaan menyebutnya sebagai Bundo Kanduang dari barisan perjuangan. Dialah ibu pejuang.

Kedatangannya dengan barisan perjuangan mengundang kecurigaan penjajah Belanda. Sehingga pada agresi kedua tahun 1949, Rahmah ditangkap. Hanya tujuh hari ia ditahan di Padangpanjang, Rahmah dipindahkan ke Padang. Ia disembunyikan di rumah seorang pegawai kepolisian Belanda berkebangsaan Indonesia dengan status tahanan rumah. Rahmah tidak pernah diinterogasi. Alasan penangkapannya hanya untuk memisahkannya dari perjuangan bangsanya. Sebab, kehadiran Rahmah diantara pejuang berpengaruh sangat besar.

Alasan melepaskan Rahmah bagi Belanda adalah ketika datangnya undangan dari panitia konferensi Pendidikan Yogyakarta. Rahmah diizinkan mengikutinya. Setelah konferensi selesai, ia masih berada di Jakarta mengikuti Kongres Kaum Muslimin Indonesia dan kembali ke Padangpanjang setelah penyerahan kedaulatan.

Karena perjuangan dan pengorbanananya terhadap kemerdekaan cukup besar Rahmah terpilih menjadi anggota DPR pada pemilu I tahun 1955 dari partai politik Marsyumi. Hanya dua tahun ia di Jakarta Rahmah melihat Soekarno sudah menyimpang dari pemerintahan demokrasi. Sedangkan Partai Komunis Indonesia (PKI) makin berkuasa dan Soekarno berada dalam pengaruhnya. Rahmah memilih kembali ke Padangpanjang memimpin perguruannya. Setelah menunaikan ibadah haji tahun 1957, Rahmah tidak kembali ke Jakarta. Ia menetap di Padangpanjang mengabdi untuk perguruannya.

Banyak sekali yang telah dilakukan Rahmah. Anak didiknya, kaum perempuan tak terhitung jumlahnya, menyebar diberbagai tempat. Perguruannya telah melahirkan perempuan-perempuan Islami yang terdidik. Sebagai manusia yang mempunyai keterbatasan, masih banyak impian Rahmah yang belum terwujud. Diantara cita-citanya yang belum sempat direalisasikannya adalah mendirikan universitas Islam khusus bagi perempuan yang dapat menampung lebih dari 2000 mahasiswi dengan fasilitas serba modern terdiri dari fakultas Adab, Syariah, Kesehatan dan Perindustrian. Rahmah juga berkeinginan membangun rumah sakit khusus diperuntukkan bagi perempuan.

Meski sudah tiada pada 9 Zulhijjah 1388, namun namanya tetap abadi bagi kalangan intelektual muslim. Perguruan Diniyah Putri telah menjadi milik kaum muslimin dan bangsa Indonesia. Ungkapan bernada sumbang yang menyatakan “ayam betina tak bisa berkokok seperti ayam jantan” itu telah dibuktikannya. Meski tidak berkokok, tapi suara ayam betina itu terdengar nyaring hingga ke seluruh penjuru. **

Riwayat Hidup Rahmah El Yunusiyyah
Hj. Rahmah El Yunusiyyah, lahir pada 1 Rajab 1318 (20 Desember 1900) di Bukit Surungan Padangpanjang sebagai anak bungsu dari lima orang bersaudara pasangan M.Yunus – Rafiah. Ayahnya Syech Moh. Yunus adalah seorang ulama besar pada zamannya yang memangku jabatan qadi di Pandai Sikek Padangpanjang. Kakeknya Imanuddin, seorang ahli ilmu falak dan pemimpin thariqat Naqsabandiyah di Minangkabau yang telah berjasa memberantas khurafat dan tempat-tempat keramat.

Saat masih kanak-kanak, Rahmah sudah ditinggal ayahnya. Ia dibesarkan dan diasuh oleh ibu dan kakak-kakaknya. Lingkungan keluarga yang taat pada agama telah membentuk kepribadian Rahmah menjadi seorang yang sabar, penuhtoleransi, teguh pendirian da iman yang kuat.

Dilihat dari silsilahnya, ayah Rahmah, Syech Moh. Yunus tercatat masih bertalian darah dengan Tuanku Nan Pulang di Rao, seorang alim di zaman Paderi yang juga pembaru Islam di Minangkabau.

Kakak tertuanya Zainuddin Labay El Yunusy adalah ulama muda yang berjasa mengubah cara dan system pendidikan sekolah-sekolah agama di Sumatera Barat. Ia memasukkan system pendidikan modern ke dalam sekolah agama (ko edukasi) yang diberi nama Diniyyah School yang didirikannya pada tahun 1915. Zainuddin Labay inilah yang banyak memberi dorongan terhadap cita-cita Rahmah. Sebaliknya, Rahmah sangat mengagumi kakaknya. Bagi Rahmah, Zainuddin adalah guru sekaligus pemberi inspirasi baginya.

Rahmah tidak pernah menjalani pendidikan formal. Menulis dan membaca huruf Arab dan Latin dipelajarinya dari kakaknya Zainuddin dan M.Rasyad. Ketika Zainuddin Labay mendirikan Diniyyah School, Rahmah ikut pula belajar di sana. Rahmah lebih banyak belajar sendiri dengan membaca buku-buku. Namun Rahmah tak cukup puas dengan ilmu yang diperolehnya dari Diniyyah School. Sore harinya, ia berguru kepada Syech Abdul Karim Amrullah, ayah dari Buya Hamka., Tuanku Mudo, Abdul Hamid dan lain-lainnya yang mengajar di Surau Jembatan Besi. Dari beliau-beliaulah Rahmah mendalami masalah agama Islam dan bahasa Arab. Bersama Rahmah waktu itu ikut juga tiga orang temannya yaitu Rasuna Said, Nanisah dan Jawana Basyir. Mereka selalu mengikuti ceramah agama yang dberikan oleh Syech Doktor H. Abdul Karim Amarullah di surau-surau yang biasanya hanya diikuti oleh kaum lelaki.

Disamping belajar agama, sekitar tahun 1931-1935, Rahmah mengikuti kursus ilmu kebidanan di Rumah Sakit Umum Kayutanam dan belajar kebidanan dari Mak Tuo (kakak ibunya).

Dalam usia 16 tahun, Rahmah menikah dengan H. Bahauddin Latif, anak seorang ulama beraliran thariqat Naqsyabandiyah di negeri Sumpur yang bernama H. Syech Abdul Latif, atas permintaan kakaknya Zainuddin Labay.

Tidak lama menikah, Bahauddin Latif pindah mengajar ke Silungkang karena perbedaan pendapat dengan ayahnya Abdul Latif. Tidak lama ia pindah ke Durian Sawahlunto. Disana ia mendirikan Diniyyah Putra.

Rahmah Tidak ikut pindah, karena setelah menikah Rahmah meneruskan lagi sekolahnya di Diniyyah School sampai selesai dan tetap melanjutkan pelajaran agamanya pada ulama-ulama besar.

Sebagaai istri, Rahmah tidak bisa mendampingi suaminya. Meski suaminya memberikan izin Rahmah meneruskan pendidikan tetapi ia menyadari hingga ia dapat menerima dengan hati lapang ketika suaminya menikah lagi. 

posted by asha
Posted by Pw PII Sumut on 00.00 in ,     No comments »

0 komentar :