28 Januari 2012

Demi Masa. Sesungguhnya manusia itu berada dalam keadaan merugi. Melainkan orang yang beriman dan yang beramal shaleh dan saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran (Q.S. Al-‘ashr ayat 1-3)

Dalam realitas kehidupan sosial, kita tidak bisa melepaskan diri dari berbagai macam kekhilafan dan kesalahan terhadap orang lain. Akan selalu muncul perbedaan persepsi yang kemudian tidak jarang melahirkan konflik dan perselisihan. Keadaan seperti ini juga sering ditemukan dalam sebuah kepemimpinan. Tidak selalu kebijakan dari seorang pemimpin bisa diterima baik oleh anggota. Ketika segala benturan pendapat terjadi, tentunya perlu tindakan penyelesaian agar tidak menyimpan masalah yang berkelanjutan.


Sayangnya, dewasa ini langkah yang ditempuh dalam penyelesaian suatu problema seringkali mengalami krisis moral. Pada prinsipnya, hal yang disampaikan adalah kebenaran, namun tidak dikemas secara baik dan benar, sehingga menimbulkan paradigma yang sebaliknya. Esensi dari pesan benar tersebut tidak sampai. Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu’anhu menyampaikan sebuah syair; Alhaqqu bilanizham yaghlibu bilbathil binnizham (kebenaran yang tidak terorganisir akan dikalahkan oleh keburukan yang terorganisir). Artinya, perlu strategi yang rapi dalam menyampaikan sebuah kebenaran, sehingga makna pesan yang disampaikan dapat dihantar dan diterima dengan baik.

Dalam terapan ilmu sosial, terdapat tiga bentuk komunikasi, yaitu submisif, asertif dan agresif. Submisif adalah bentuk komunikasi negatif yang lebih merugikan si pengantar pesan karena lebih memilih untuk menahan, sehingga pesan tidak tersampaikan. Agresif adalah sebaliknya. Agresif merupakan perilaku komunikasi yang sampai melakukan tekanan pada komunikan. Diantara dua bentuk komukasi tersebut, adalah asertif yang menjadi penyeimbangnya. Asertif merupakan bentuk komunikasi yang memperhatikan cara penyampaian.

Untuk memahami perbedaan submisif, asertif dan agresif bisa dicontohkan ketika suatu saat di dalam keramaian kaki anda diinjak. Jika yang dilakukan hanyalah diam menahan sakit, berarti anda menunjukkan sikap submisif. Ketika sebaliknya, anda marah-marah kepada orang yang menginjak, bahkan hingga melontarkan kata-kata kasar, maka perilaku tersebut adalah sebuah bentuk agresi karena dapat menyakiti orang lain. Bisa saja orang tersebut menginjak kaki anda dengan tidak sengaja. Jadi, solusinya ialah mencoba komunikasi asertif. Dengan memberitahu bahwa kaki anda terinjak, maka dengan kesadarannya orang tersebut akan meminta maaf sehingga akan saling merasa diharagai. Komunikasi seperti inilah yang tentunya diharapkan.

Setiap orang sangat mungkin melakukan kesalahan dan pada saat itulah dibutuhkan ada figur yang mengingatkan. Hanya saja yang dibutuhkan ialah penyampaian yang baik, komunikasi yang lembut (Qoulan Layinan). Dalam sejarah kenabian, Baginda Rasulullah SAW pernah menegur tindakan seorang panglima perang handal bahkan sampai dijuluki pedang Allah yang terhunus. Dialah Khalid ibn Al Walid. Seorang panglima perang yang menuntaskan kemenangan pasukan kaum muslimin dalam perang mu’tah dengan menjadi pemegang amanah setelah syahidnya tiga panglima sebelumnya, Zaid ibn Haritsah, Ja’far ibn Abi Thalib dan ‘Abdullah ibn Rawahah. Dia yang lebih menyukai bangun di dinginnya malam demi tugas jihad ketimbang berhubungan dengan isterinya. Namun, segenap ketangkasan Khalid bin Walid, tak lantas menjadikan Rasul membiarkannya dikala khilaf.

Ialah dalam insiden Bani Jadzimah. Peristiwa yang dikenang Khalid dalam hidupnya. Setelah penghancuran berhala ‘Uzza di Wadi Nakhlah, Khalid diutus oleh Rasulullah SAW kepada Bani Jadzimah. Kali ini sebagai Da’i, bukan sebagai pemimpin perang. Tapi yang terjadi adalah, Khalid melakukan pembunuhan. Maka sampailah berita ini kepada Baginda Rasul SAW yang sangat membuat beliau berduka. Kemudian, demi membayar kesalahan Khalid, Rasul SAW mengirim Ali bin Abi Thalib ke Bani Jadzimah dengan maksud membayar luka yang ditorehkan oleh Sang Pedang yang Terhunus, Khalid bin Walid. Setelah itu seorang sahabat mencoba menasehati Khalid, yaitu Abdurrahman bin ‘Auf. Seorang yang mengulurkan jiwa dan hartanya ketika semua orang menahannya. Seorang yang sangat kokoh mempertahankan keyakinannya demi menegakkan risalah islam. Ketika itu Khalid jengkel terhadap perdebatannya dengan Abdurrahman bin ‘Auf, hingga Rasulullah SAW menegur Khalid yang akhirnya membuat ia sadar(Salim A. Fillah dalam, 2008 “Jalan Cinta Para Pejuang”).

Inilah contoh begitu pentingya mengingatkan. Seorang Khalid bin Walid terlalu terlena dengan gelar “Pedang Allah yang Terhunus” yang diberikan terhadapnya, sehingga menyebabkan lupa diri. Banyak hal yang dapat dijumpai dalam realita kehidupan zaman sekarang. Tak jarang dengan prestasi, jabatan atau kedudukan menjadikan manusia lupa diri, lupa untuk bersyukur, tak ingat lagi untuk berterima kasih. Ibarat pepatah kacang lupa akan kulitnya.

Mungkin banyak dijumpai pelatihan yang menuntut berkembangnya mental dan pemikiran yang kritis. Sebenarnya hal ini sangat diperlukan, karena pada hakikatnya manusia sering khilaf. Tapi, tentunya yang diharapkan bukan hanya sekadar kritik, tapi juga mampu memberikan solusi yang baik. Dan yang terpenting adalah cara penyampaian kritik dilakukan dengan komunikasi yang memperhatikan etika. Mengingatkan dengan komunikasi yang sampai kepada pikiran dan menyentuh hati (Qoulan Balighan).

*Dari berbagai sumber
Posted by Pw PII Sumut on 05.20 in ,     No comments »

0 komentar :