23 Juli 2009

Pena Redaksi

Peristiwa Isra Mikraj Nabi Muhammad SAW terjadi pada malam 27 Rajab tahun ke-11 kenabian. Peristiwa ini di samping memberikan kekuatan batin kapada Rasul, juga menjadi ujian bagi Kaum Muslimin sendiri, apakah mereka percaya
dan beriman kepada peristiwa yang menakjubkan dan di luar akal manusia, yaitu perjalanan yang beratus-ratus mil serta menembus tujuh lapis langit ditempuh hanya dalam waktu satu malam.

Tentang peristiwa besar tersebut, dalam Al-Quran diterakan dengan jelas tentang, “Mahasuci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada
suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda- tanda (kebesaran) Kami” (QS. Al Isra’ [11] : 1). Pada bagian lain, kelanjutan peritiwa ini diterakan, “(Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya.

Penglihatan Muhammad tidak berpaling dari apa yang dilihatnya itu dan tidak pula melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar” (QS. An Najm [53]: 16-18).
Kedua kutipan ayat tersebut mempunyai signifikansi yang kuat terhadap upaya taklim (pengajaran) bagi Nabi Muhammad SAW secara perseorangan, juga bagi kaumnya.

Hal itu dapat dilihat penggalan makna yang menyatakan, ”…Kami perlihatkan kepadanya..” Dan dilanjutkan dengan “sesungguhnya dia (Muhammad) telah
melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya…” Hal inilah yang menjadi esensi dalam menangkap makna sebuah pengajaran.

Isra Mikraj sebagai pengajaran
Pengajaran yang didapatkan Nabi Muhammad SAW adalah bagaimana terlihatnya berbagai peristiwa yang luar biasa. Peristiwa hari akhir yang merupakan buah dari kehidupan dunia; surga dan neraka dapat disaksikan
Nabi.

Hal itu merupakan upaya peningkatan keimanan dalam bentuk taklim. Dalam pada itu juga ditemukan Nabi berbagai pengetahuan baru, yang saat itu belum bisa dibuktikan. Hal yang terakhir inilah yang merupakan bagian dari pola dasar penggalian ilmu pengetahuan ilmiah.

Walaupun, ternyata Barat lebih dahulu mengkaji dan mengembangkan “pesan” dari peristiwa luar biasa tersebut. Sungguh sebuah kenestapaan intelektual tatkala dunia Islam sanggupnya hanya “lebeling” atas keberhasilan Barat lalu
mengatakan bahwa apa yang ditemukan Barat adalah milik Islam. Hal itu merupakan sebuah malapetaka yang besar.

Oleh karena itu, diperlukan reformulasi pemahaman atas teks-teks Ilahiah dalam perjalanan Isra Mikraj tersebut. Hal inilah yang mengharuskan umat Islam harus konsisten menggali ilmu pengetahuan dari Al-Quran, sebagaimana yang telah dilakukan Barat terhadap kitab suci umat Islam.

Dengan Isra Mikraj bukan ilmu pengetahuan Nabi saja yang ditingkatkan, tetapi juga pengetahuan seluruh umat manusia. Karena dengan dengan mengikuti serta mempelajari peristiwa yang luar biasa tersebut akan banyak mendatangkan inspirasi bagi umat manusia untuk menggali ilmu pengetahuan sedalam-dalamnya.

Dan sekaligus mendorong pikiran manusia untuk mengembara lebih tinggi dari alam yang biasa yang lazim dilihat dengan realitas yang ada. Bersamaan dengan itu pula, pengajaran yang terlihat tidak sekadar dalam bingkai pendalaman ilmu pengetahuan, justru yang lebih penting adalah bagaimana terjadi upaya peningkatan keimanan.

Sebab, hanya dengan tingkat iman yang tinggi, realitas peristiwa Isra Mikraj Nabi Muhammad SAW dapat diterima oleh manusia. Tanpa iman, peristiwa itu akan sukar untuk dapat dicerna. Dalam konteks inilah sesungguhnya dapat diorientasikan bahwa hal ini mempunyai signifikansi yang kuat terhadap realitas pendidikan. Hal ini jugalah yang sejatinya memberikan kesadaran yang tinggi atas realitas pendidikan; khususnya di tanah air Indonesia.

Eksistensi pendidikan
Pendidikan sampai saat ini belum sepenuhnya dapat mengemban amanat pendidikan. Pendidikan yang dipraktikkan masih sebatas peningkatan kualitas pengetahuan. Tidak lebih. Justru, pendidikan tidak hanya berkutat pada pengetahuan, tetapi juga tatanan nilai-nilai (values; bukan sekadar nilai).

Sebab, pendidikan adalah upaya sadar yang dilakukan untuk mengoptimalkan seluruh potensi manusia. Benarkah saat ini pendidikan dapat dikatakan sebagai institusi yang mengoptimalkan potensi manusia? Sementara di dalam sistem pendidikan itu sendiri juga terjadi kontradiksi inter minus; sebuah pertentangan dalam praktik pendidikan. Sejatinya, pendi-dikan adalah institusi yang melang-gengkan tatanan nilai-nilai (values).

Ternyata, pada saat tertentu, justru institusi pendidikan meluluhlantakkan tatanan
nilai-nilai yang sudah diba-ngun di dalam diri individu. Tentunya, tidaklah etis menyebutkan berbagai hal yang yang mengindikasikan adanya perbuatan
yang konsisten dalam inkonsistensi terhadap nilai-nilai (values).

Jujur, akhlakul karimah, adil, bermartabat, elegan, dan sikap positif lainnya
merupakan bagian dari tatanan nilai-nilai yang sangat familiar. Baik dalam bingkai agama, maupun dalam bingkai berkebangsaan yang mewarisi sikap luhur para pendahulu bangsa Indonesia. Lalu, pada waktu yang lain, tatanan nilai-nilai tersebut digerus habis demi kepentingan sesaat, (tragisnya) lagi sesat.

Dalam kerangka optimalisasi potensi manusia, manusia Indonesia mempunyai hak yang sama untuk mengecap pendidikan. Syukurlah, program yang dicanangkan pemerintah telah memberikan angin segar bagi pencerahan melalui program pendidikan gratis yang dimulai pada tahun pelajaran 2009/2010 untuk jenjang pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs).

Benarkah sesungguhnya bahwa seluruh program pendidikan yang dilaksanakan di SD/MI dan SMP/MTs adalah gratis? Yang dikatakan gratis adalah seluruh kebutuhan siswa dalam bersekolah ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah (atau pihak lain).

Realitasnya tidak demikian. Masih banyak biaya yang harus dikeluarkan orang tua siswa untuk sekadar menamatkan jenjang SD/MI dan SMP/MTs. Lalu, program pendidikan sekolah gratis – yang spanduknya dipasang berjejer di setiap SD/ MI dan SMP/MTs itu apa maksudnya? Lips service? Entahlah!

Penutup
Kiranya memaknai peristiwa Isra Mikraj 1430 H ini perlu direfleksikan pada penataan sistem pendidikan. Sebab, pendidikan merupakan bagian dari upaya optimalisasi manusia dalam rangka mengharap ridha-Nya. Inilah keterkaitan yang sangat familiar untuk dijadikan permenungan bersama agar iman dapat lebih berorientasi pada Sang Khalik.

Patut kiranya yang diungkapkan Sayyid Muhammad Rasyid Ridho, tokoh pembaharu Islam yang menegaskan bahwa, iman itu totalitas dari tiga perkara: ilmu, yakin, dan amal. Kiranya pula dalam memaknai peristiwa Isra Mikraj Nabi Besar Muhammad Saw kita dapat meningkatkan keimanan melalui praktik pendidikan yang lebih baik. Semoga saja!
Posted by Pw PII Sumut on 21.04 in     No comments »

0 komentar :