Ketika orang berbicara masalah mutu pendidikan, prestasi sekolah, keberhasilan siswa,ataupun keberhasilan sebuah lembaga pendidikan, pastilah yang ada di benak kita adalah berapa banyak persentase kelulusan ujian nasional (UN),berapa rata-rata nilai rapor siswa, ranking berapa yang diperoleh oleh seorang siswa di kelas atau di sekolahnya, berapa persen yang lulus di perguruan tinggi,berapa IPKnya,dan berbagai indikator kuantitatif lainnya.Seolah-olah persoalan pendidikan cukup diuraikan dan ditentukan berdasarkan angka saja, sehingga prestasi siswa, keberhasilan sekolah,keberhasilan guru, bahkan keberhasilan sebuah daerah mengenai pendidikan cukup diukur dengan angka saja.
Padahal persoalan pendidikan tidaklah semata-mata terkait dengan kuantitas, persoalan pendidikan terkait juga dengan persoalan kualitas yang tidak dapat disederhanakan dalam bentuk angka. Terlalu mengandalkan angka dalam membicarakan pendidikan malahan bisa menyesatkan karena bisa saja angka yang dimiliki tidak menggambarkan keadaan yang sesungguhnya dan apa yang disajikan belum tentu merupakan indikator dari apa yang ingin digambarkan, atau bahkan lebih parah lagi bahwa apa yang disajikan memang sengaja dibuat bias dari keadaan yang sesungguhnya.Oleh karena itu, sangat naif rasanya jika kita mengklaim keberhasilan ataupun menuding kegagalan sebuah sekolah,seorang siswa, seorang guru,apalagi sebuah kabupaten, kota, atau propinsi jika hanya mengandalkan angka berupa data kuantitatif yang diringkaskan baik dalam bentuk persentase, rasio, ataupun rata-rata.
angka dan data kuantitatif saja tidak dapat sepenuhnya dijadikan untuk menggambarkan kondisi pendidikan.Hasil UN tidak sepenuhnya dapat dianggap sebagai indikator keberhasilan seseorang,sebuah sekolah, atau sebuah daerah karena UN hanya menunjukkan hasil tanpa mempertimbangkan proses yang ada, padahal kualitas sebuah lembaga pendidikan tidak hanya ditentukan oleh hasil, tetapi juga bagaimana proses terjadinya pencapaian hasil yang diperoleh.Selain itu, dengan mengandalkan UN sebagai penentu utama kelulusan, kita menganggap bahwa kemampuan menjawab soal ujian sudah pasti merupakan gambaran pemahaman siswa tentang ilmu pengetahuan, padahal kedua hal tersebut bisa jadi sangat berbeda.Keberhasilan menjawab soal ujian, apalagi soal ujiannya hanya berupa pilihan berganda (multiple choice), tentunya tidak serta merta dapat dijadikan patokan bahwa anak didik sudah menguasai ilmu pengetahuan yang diajarkan apalagi dijadikan sebagai indikator kemampuan dalam mengembangkan, menguraikan, serta mengkomunikasikan ilmu pengetahuan tersebut.
Namun itulah yang terjadi saat ini, karena orientasi siswa, guru, sekolah, dan pemerintah hanya sekadar mengejar kelulusan, bukan lagi untuk penguasaan ilmu pengetahuan secara umum, akibatnya sekolah-sekolah kita telah berubah menjadi tempat bimbingan belajar semata yang kegiatannya cenderung hanya mengajari murid bagaimana menjawab soal sekaligus memberikan kiat-kiat menjawab soal, bukan lagi untuk mendidik siswa agar menguasai, memahami, mengembangkan, dan mengimplementasikan ilmu pengetahuan.Walaupun sebetulnya menjadikan sekolah sebagai 'bimbingan test', masih lebih baik daripada mengajari anak didik berlaku tidak jujur dengan membantu menjawab soal ujian atau berbuat kecurangan untuk membantu kelulusan, sebagaimana selalu terjadi dalam setiap UN. Jika ini yang terus menerus yang terjadi,maka UN dipastikan akan jadi ajang pembodohan dan akan terus melahirkan manusia hipokrit dan generasi munafik yang membohongi diri sendiri. Inilah contoh dari apa yang diuraikan di atas, yaitu angka yang tidak menggambarkan keadaan sesungguhnya, tetapi angka yang mengelabui,yang merupakan cara berbohong dengan statistik.
Lain lagi persoalannya dalam mengandalkan perolehan nilai hasil pelajaran sebagai indikator prestasi seorang siswa atau sekolah dengan siswa atau sekolah lainnya. Perolehan nilai yang sama dari dua orang yang berasal dari kelas yang berbeda apalagi dari sekolah yang berbeda, tidak bisa dikatakan bahwa prestasinya sama, karena guru yang tidak sama, penguji yang berbeda dan soal ujian yang berbeda pula. Jadi menjadikan rata-rata nilai kelulusan bagi siswa atau IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) bagi mahasiswa sebagai indikasi prestasi dalam membandingkannya dengan siswa atau mahasiswa lain adalah perbuatan keliru. Rata-rata nilai kelulusan hanya mungkin digunakan untuk membedakan siswa dari kelas yang sama, yang diajar oleh guru yang sama, dan pada waktu yang sama.IPK juga hanya mungkin dibandingkan pada jurusan yang sama, dengan dosen yang sama, dan pada semester yang sama pula.
Hal yang sama juga berlaku untuk ranking kelas atau ranking sekolah. Perolehan ranking yang sama dari dua siswa yang berasal dari kelas yang berbeda apalagi dari sekolah yang berbeda, tidaklah diartikan bahwa keduanya memiliki prestasi yang sama. Dengan alasan yang sama, Kriteria Kelulusan Minimal (KKM) juga mestinya tidak harus berupa angka, karena angkanya bisa saja nilainya dimanipulasi, sehingga yang tercantum tidak lagi angka yang sesungguhnya, lagi-lagi cara demikian adalah bentuk lain dari 'kebohongan statistik'.
Terlepas dari persoalan manipulasi angka dan salah kaprah dalam memaknai angka, persoalan yang lebih mendasar adalah persoalan pendidikan yang tidak bisa hanya dipandang dari prospek kuantitas saja, karena sebagaimana dikatakan di atas, banyak persoalan pendidikan penting yang tidak mungkin dikuantifikasi yang menjadi terabaikan jika hanya dilakukan pendekatan kuantitatif saja.
Sebagaimana diketahui bahwa pendidikan atau mendidik tidak hanya sebatas mentransfer ilmu saja, tapi lebih jauh dari pengertian itu, yang lebih utama, pendidikan dipandang sebagai pembudayaan (enkulturisasi) yang tentu saja hal terpenting dari pembudayaan itu adalah pembentukan karakter dan watak seseorang agar menjadi lebih baik, lebih sopan dalam tataran etika maupun estetika maupun perilaku dalam kehidupan sehari-hari.Tentunya persoalan pembentukan karakter, persoalan perilaku dan kesopanan, serta persoalan etika dan estetika adalah variabel-variabel kualitatif yang sulit disederhanakan dalam bentuk kuantitatif. Namun karena hal tersebut juga merupakan target yang harus dicapai dalam sebuah aktivitas pendidikan, maka hal tersebut harus juga dipertimbangkan dalam mengevaluasi keberhasilan sebuah institusi pendidikan.
Pendidikan pada dasarnya tidak hanya ditujukan untuk menghasilkan pribadi yang cerdas dan terampil, tetapi juga memiliki mental dan moral yang baik serta untuk membentuk sikap, watak, dan kepribadian yang diperlukan untuk membina hati nurani peserta didik sehingga mereka mempunyai kepekaan dan penghayatan atas nilai-nilai luhur. Tentunya, hal-hal yang terkait dengan moral, pembinaan hati nurani, persoalan kepekaan, dan penghayatan terhadap nilai-nilai luhur adalah hal-hal yang tidak bisa dikuantifikasi. Namun, sama halnya dengan variabel kualitatif lain, pemahaman dan pengamalan nilai-nilai oleh siswa juga patut dipertimbangkan sebagai indikator keberhasilan sebuah lembaga pendidikan.
Selain transfer ilmu pengetahuan, pendidikan juga diharapkan mempunyai misi lain, yaitu menghasilkan siswa yang menyadari dirinya sebagai manusia yang diciptakan Allah, Tuhan Semesta Alam, sebagai mahluk yang sempurna dan terpilih sebagai khalifah-Nya di muka bumi yang sekaligus menjadi warga negara yang berarti dan bermanfaat bagi suatu negara, seterusnya lembaga pendidikan juga diharapkan menjadi tempat yang paling utama sebagai sarana transfer nilai-nilai moral yang menyentuh aspek-aspek kognitif, aspek edukasi dan implementasinya. Persoalan religiusitas dan nilai-nilai moral ini tentu saja tidak dapat diukur secara kuantitatif. namun demikian tetap harus dijadikan sebagai indikator keberhasilan sebuah lembaga pendidikan, yaitu sejauh mana lembaga tersebut mampu menghasilkan lulusan yang beretika, bermoral, dan religius.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa untuk menilai keberhasilan sebuah institusi pendidikan, sangat kurang tepat jika hanya mengandalkan angka saja, karena selain angka tersebut bisa keliru dan dapat mengelabui, diperlukan juga indikator kualitatif yang menggambarkan keberhasilan sebuah institusi pendidikan dalam mendidik insan berbudaya, bermoral, berkarakter, berkepribadian, dan religius yang selama ini jarang atau mungkin tidak pernah dipertimbangkan dalam melakukan evaluasi sebuah lembaga pendidikan.
Oleh karena itu, sudah saatnya, fokus pendidikan kita tidak hanya menyangkut masalah ilmu pengetahuan dan keterampilan saja, tetapi juga mendidik peserta didik menjadi insan yang bermoral, beretika, berbudaya, berkarakter, berkepribadian, sekaligus religius. Namun persoalannya,hal demikian tidak mungkin hanya sekedar diajarkan tetapi harus ditunjukkan dengan keteladanan.Untuk mengajarkannya, dibutuhkan guru-guru yang juga bermoral, beretika, berbudaya, berkarakter, berkepribadian, sekaligus religius.Suatu harapan yang susah didapatkan saat ini, para guru kita justru sering mempertontonkan perilaku yang sebaliknya, yaitu guru yang kurang terpuji dalam perbuatan, yang moralnya rendah, dan yang tidak menghargai profesinya sebagai guru. Jadi untuk itu, kita harus mencari dan menyiapkan guru-guru yang mengajak, mengajar, dan mencontohkan keluhuran budi pekerti dan kepribadian, sekaligus menyiapkan model evaluasi yang mampu menggambarkan perubahan perilaku dan kepribadian siswa yang tentunya bukan lagi sekedar bentuk angka.
Pastinya, untuk menghindari kebohongan dan pembohongan, untuk terhindar dari kebodohan dan pembodohan, untuk lepas dari prestise dan prestasi semu, dan untuk keluar dari pendangkalan pengetahuan, maka jangan terlalu mengandalkan angka, jangan terlalu mengandalkan hasil UN, jangan terlalu mengandalkan ranking, jangan terlalu mengandalkan rata-rata nilai, temukan indikator pembanding berupa indikator kualitatif yang menggambarkan proses transfer ilmu pengatahuan serta indikator yang menunjukkan kualitas kepribadian, perilaku, etika, moral, karakter, dan religiusitas siswa. Jadi bicara pendidikan tidak cukup hanya bicara angka, tentu saja !!!
Oleh : Zulkarnain Lubis
(Kepala SMA Plus Madina)
0 komentar :
Posting Komentar