
WASPADA Onlie
Peringatan Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada tanggal 2 Mei mandatang sepertinya akan diperingati dengan suasana duka cita oleh segenap guru dan siswa khususnya di SMAN 2 Lubukpakam. Tertangkapnya 17 orang guru termasuk sang kepala sekolah dan kini telah ditetapkan oleh pihak kepolisian 16 diantaranya telah menjadi tersangka, akibat melakukan perbaikan pada lembar jawaban siswanya ketika UN yang berlangsung beberapa waktu lalu.
Hal itu merupakan catatan penting dan menjadi sebuah potret buram bagi dunia pendidikan Indonesia dan Sumut khusunya. Sepertinya penerapan kebijakan UN oleh pemerintah sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan tidak berjalan sesuai dengan keinginan.
Hal yang terjadi khusunya di SMAN 2 Lubukpakam tersebut mungkin saja juga terjadi di sekolah-sekolah lain hanya saja perilaku yang tidak terpuji itu belum muncul kepermukaan seperti yang dialami SMAN 2 Lubukpakam.
Kebijakan pemerintah yang melakukan standarisasi nilai kelulusan pada UN sebenarnya tanpa disadari telah menjadi cambuk bagi dunia pendidikan itu sendiri khususnya yang paling merasakan dampak itu adalah pihak sekolah. Mau tidak mau, suka tidak suka, siap atau tidak siap pihak sekolah harus mengikuti intruksi yang datang dari yang berkuasa.
Banyak hal yang perlu dipersiapkan terlebih dahulu sebelum menerapkan standarisasi kelulusan bagi siswa dalam skala nasional itu. Kenyamanan pendidikan sekolah baik itu dari segi fasilitas belum sepenuhnya dirasakan oleh seluruh sekolah di Indonesia. Hal yang sangat nyata kita lihat sarana dan prasarana penunjang pendidikan di setiap sekolah masih sangat berbeda dari sekolah satu dengan sekolah lain. Fasilitas yang dimiliki sekolah di daerah-daerah tidak sama dengan fasilitas yang dimiliki sekolah yang berada di kota. Cotohnya, fasilitas laboraturium bahasa Inggris masih sulit kita temui di sekolah-sekolah yang berada di daerah apalagi sekolah negeri.
Itu baru satu diantara banyaknya permasalahan yang harus dibenahi. Jadi bagaimana bisa dilakukan standarisasi dalam sekala nasional. Tak bisa kita salahkan juga kalau akhirnya kejadian di SMAN 2 Lubukpakam itu terjadi. Mungkin saja hal seperti itu sudah terjadi sejak diberlakukannya standarisasi UN pada tahun 2003 yang lalu.
Kalau kita melihat sejenak kebelakang, sebenarnya potret buram dunia pendidikan itu sudah terlihat setahun yang lalu. Juga terjadi di Sumut dan mungkin beberapa di daerah-daerah lain, dimana para guru yang tergabung dalam Komunitas Air Mata Guru juga pernah menemukan kecurangan pada pelaksanaan UN tahun itu. Namun, sepertinya kejadian tersebut tidak menjadi bahan koreksi bagi pemerintah tentang kebijakan UN. Alhasil, beberapa guru yang melaporkan hasil kecurangan UN mendapat sanksi yang berat hingga diberhentikan.
Sungguh tidak bisa dibayangkan akan seperti apa dunia pendidikan kita kedepannya kalau hal ini tidak secepatnya menjadi prioritas utama yang perlu di selesaikan oleh pemerintah.
UN Tak Usah Diadakan
Dosen Universitas Sumatera Utara (USU) dan Juga Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Pembangunan (STIK-P) Medan, Profesor Dr. Suwardi Lubis, M.Si mengatakan saat ini orientasi UN hanya sebatas untuk meluluskan siswa saja. Padahal seharusnya UN menjadi tolak ukur standar pendidikan.
Ia juga menambahkan kalau orientasinya sudah untuk meluluskan maka dampaknya akan menyangkut pada kinerja guru. Bila siswa tidak lulus berarti guru tidak berhasil dalam mendidik siswa itu.
"Padahal lulus atau tidaknya siswa itu banyak faktor yang mempengaruhi. Faktor psikologis siswa atau dari kesehatan jasmani juga berpengaruh dalam hal ini. Contohnya bagaimana siswa itu bisa menangkap pelajaran dengan baik kalau gizi yang diperoleh para siswa itu kurang," tuturnya.
"Kalau ada sekolah yang meluluskan 100 persen siswanya, seharusnya kepala sekolahnya itu ditindak. Karena harus dipertanyakan mengapa bisa lulus sepenuhnya. Jelas tidak semua siswa punya kemampuan yang sama," tambah Prof. Suwardi.
Untuk itu menurut Prof Suwardi, UN kini tidak perlu lagi di adakan. "Kalau kita kaji besarnya anggaran untuk pelaksanaan UN yang dikeluarkan, seharusnya dana itu bisa memenuhi sarana dan prasarana untuk sekolah-sekolah yang masih tertinggal. Biarkan pihak sekolah yang menentukan lulus atau tidaknya siswa itu, karena hanya pihak sekolahlah yang tahu tentang kondisi dan kemampuan para siswanya," ungkapnya.
Menyikapi masalah penangkapan 16 guru SMAN 2 Lubukpakam, Prof. Suwardi mengatakan ia tidak menyalahkan para guru tersebut, ia menilai apa yang dilakukan para guru itu merupakan ekspresi rasa tanggung jawab mereka kepada murid-muridnya. "Murid itu ibarat anak bagi mereka karena rasa tanggung jawab itu mereka melakukan perbuatan yang memang menyalahi aturan," ucap Prof. Suwardi.
Selain itu ia juga sangat menyesalkan perbuatan yang dilakukan aparat kepolisian ketika melakukan penangkapan. Menurutnya hal itu sangat berlebihan. "Guru itu bukan teroris, jadi kenapa harus Tim Densus 88 yang melakukan penangkapan, kemana hati nurani para penegak hukum itu, apa mereka dulu tidak pernah dididik oleh para guru?" ucapnya penuh kesal.
"Harusnya para guru yang tertangkap itu janganlah diberikan hukuman hingga dipenjarakan, cukuplah diberi nasehat atau teguran sebab guru tetaplah seorang guru yang mengemban tugas yang mulia. Tapi kalau sampai mereka dipecat atau dihukum pidana, berarti pendidikan kita sudah tidak manusiawi lagi," harapnya. (zulfan)
0 komentar :
Posting Komentar