09 Februari 2008
Mendiskusikan kondisi umat Islam di Indonesia seakan tidak ada habis-habisnya. Hal ini disebabkan karena berbagai alasan antara lain di satu sisi begitu besarnya harapan dunia luar terhadap Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, sementara di sisi lain kita yang menjadi pelaku sejarah belum melihat potensi kekuatan itu teraktualisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mengubah potensi umat Islam menjadi kenyataan sejarah adalah merupakan tugas yang sangat mendesak sehingga peluang yang dimiliki tersebut tidak hilang percuma ditelan masa. Dalam rangka untuk merubah potensi itu perlu terlebih dahulu dikaji akar-akar kelemahan umat Islam di Indonesia dan selanjutnya merumuskan jalan keluarnya.Realitas Kehidupan Dengan menilik sejarah islamisasi di Indonesia, penampilan Islam lebih mengacu kepada pengayaan kerohanian (spritual enrichment) sebagai konsekuensi akulturasi dengan budaya lokal yang sebelumnya telah dibentuk berbagai kepercayaan lokal. Model pengayaan kerohanian ini membawa dampak positif yaitu berakarnya dengan kuat tradisi keislaman dalam persepsi masyarakat akan tetapi juga memiliki dampak negatif yaitu kurangnya dinamika Islam dalam merubah struktur sosial. Hal ini disebabkan karena strategi dakwah yang disampaikan lebih banyak mengandalkan model adaptasi dan akomodasi. Kekuatan dakwah yang datang tidak cukup kuat mengimbangi struktur sosial yang sudah mapan sebelumnya. Akibat yang terjadi adalah terjadi perubahan dari politeistik kepada monoteistik akan tetapi lambat dalam reformasi struktur sosial. Sejalan dengan model islamisasi yang berlangsung dengan pendekatan budaya sebagai akibat dari tidak cukup kuatnya para muballigh melakukan perombakan struktur sosial itu, berdampak pada model pembelajaran Islam yang lebih banyak mengacu kepada pemeliharaan kesinambungan ilmu-ilmu keislaman yang dilembagakan melalui pondok pesantren. Kehadiran pondok pesantren cukup ampuh dalam meneruskan tradisi ini sekaligus juga sebagai kawah candradimuka mempersiapkan calon-calon pemimpin dalam melakukan rekayasa struktur sosial. Hasil yang diperoleh adalah kharisma kepemimpinan ulama. Namun kharisma kewibawaan ini tidak diimbangi dengan profesionalitas disebabkan modal pengetahuan mereka lebih mengacu kepada sistim pengayaan kerohanian. Model pendidikan yang dikembangkan juga lebih banyak penekanannya yang bersifat defensif yaitu mempertahankan Islam dari gempuran infiltrasi barat yang berlangsung bersamaan dengan datangnya era kolonialisme di tanah air. Maka begitu arus modernisme dan sekularisme dari barat dengan deras merusak sendi-sendi sosial maka para pemimpin umat waktu itu mencari solusi-solusi yang sifatnya melalui pendekatan spritualis. Dengan modal wawasan keislaman penekanannya pengayaan kerohanian maka langkah politisnya adalah perumusan identitas keislaman yang membedakannya dengan identitas kebaratan itu. Wacana simbolisasi Islam begitu kuat pengaruhnya terasa sampai kepada masa kita sekarang ini. Wacana itu sesungguhnya tidak selamanya negatif manakala diimbangi dengan perluasan wawasan tentang keislaman sehingga terjadi pelebaran wilayah dakwah mencakup pendekatan yang lebih komprehensif dalam berbagai sektor kehidupan umat.Sebagai wujud dari simbolisasi itu maka tidak dapat dielakkan adanya keinginan yang kuat untuk memberi identitas keislaman terhadap berbagai sektor kehidupan sosial antara lain ekonomi Islam, partai politik Islam, pendidikan Islam dan lain sebagainya. Akibatnya muncul polarisasi Islam dengan berbagai aktivitas sosial yang mengacu kepada bentuk belah kacang. Sejalan dengan dikhotomisasi itu maka pola berpikir simbolistik itu menumbuhkan sikap emosional yang kuat. Sikap emosional itu dengan jelas kelihatan manakala ada ketersinggungan-ketersinggungan yang bernuansa politis. Terkadang muncul pandangan bernada kritik bahwa umat Islam itu kekuatannya hanya di dalam penggalangan massa akan tetapi lemah dalam pengembangan profesionalitas. Sementara itu di dalam diri umat Islam itu sendiri tumbuh polarisasi berdasar pada aliran maupun tradisi pemikiran yang terkadang mengarah kepada perbedaan yang cukup tajam. Di kalangan pengamat sering keheranan mengapa umat Islam sulit berkompromi dalam hal-hal yang tidak strategis padahal titik temu di kalangan mereka jauh lebih besar dari umat lainnya. Dalam bidang politik telah berkembang wacana untuk menarik garis pemisah antara partai politik Islam dengan yang bukan partai Islam. Padahal juga masih tersisa sejumlah pertanyaan yaitu apakah partai-partai Islam telah memiliki karakter tersendiri dibanding dengan yang bukan partai Islam. Karena dalam kiprah sosialnya sulit menarik garis pembeda antara dua model kepartaian itu. Menilik pandangan dikhotomis ini lalu muncul wacana lain untuk mencoba merumuskan sintesa antara partai Islam dengan bukan Islam ini dengan solusi nasionalis-religius. Namun sesungguhnya, semua partai politik itu kalau memang konsisten pada filosofi bangsa ini pastilah juga semuanya nasionalis-religius. Indikatornya adalah sulitnya mempersatukan kepemimpinan umat Islam di Indonesia. Akar dikhotomisasi ini terletak pada model pembelajaran lembaga pendidikan termasuk pendidikan tinggi keislaman pada masa lalu. Lembaga pendidikan tinggi keislaman tersebut pada mulanya adalah kelanjutan pendidikan tradisional yang dikelola di pesantren luhur. Sementara di sisi lain begitu kuatnya arus tarikan pendekatan keilmuan untuk lebih mendekat ke kutub sekularisme. Apabila polarisasi ini terus berlanjut maka tidak terbayangkan betapa kerugian yang akan dialami umat Islam karena aset kultur keislaman yang dimiliki selama ini bukan saja sirna akan tetapi malah dianggap tidak sejalan dengan gagasan mewujudkan Indonesia yang baru Persoalan ikatan kekuatan solidaritas sesama muslim menjadi bahan kajian yang tidak pernah habis. Mereka dengan mudah bisa bertemu manakala sedang dihadapkan kepada persoalan bersama. Selain dari itu, secara internal umat Islam juga memiliki simbol-simbol keberagamaan yang membedakan antara satu dengan yang lain yang tidak jarang menimbulkan ketegangan. Hal ini bermula sejak abad 19 yaitu dengan terjadinya perubahan wacana pemikiran keislaman di nusantara yang melahirkan dikhotomi pendekatan keislaman. Dikhotomi antara kelompom tradisi atau pesantren dengan pembaharu, kelompok kaum tua dengan kaum muda baik di Jawa maupun luar Jawa adalah kenyataan yang masih sulit dihapus padahal dalam Islam sesungguhnya tidak ada yang baru dan lama karena di balik Islam yang ada hanyalah kesesatan (famadza ba'da al haqq ila al dlalal). Mengatasi Kelemahan Upaya mengatasi kelemahan umat Islam haruslah dimulai dari perumusan kembali pola pendidikan keislaman di Indonesia. Lembaga pendidikan keislaman yang sudah ada selama ini seperti pondok pesantren hendaklah tetap dipelihara. ketertinggalan. Namun integrasi sistim pondok pesantren dengan pendekatan keilmuan moderen merupakan suatu kemestian. Umat Islam hendaknya dapat didorong agar menyadari ketertinggalan mereka kemudian membangun dialog bersama untuk mengatasinya. Gagasan yang sudah ada selama ini tampaknya masih bersifat fragmentatif berjalan sendiri-sendiri dan belum memiliki strategi yang dibangun secara bersama. Satu kelompok lebih melihat kelemahan pada lembaga pesantren sementara yang lain melihat kelemahan itu pada pola berpikir pembaharuan yang belum jelas akar keilmuannya. Untuk membangun semangat kebersamaan ini peranan MUI diharapkan agar tidak hanya bersikap reaktif manakala muncul kejadian sosial tetapi hendaknya diimbangi dengan sikap proaktif mendahului terjadinya perubahan itu. Umat Islam tidak bisa diharapkan memainkan peran yang besar dalam kehidupan bangsa ini manakala mereka tidak mampu menawarkan gagasan pemikiran yang menjadi solusi terhadap berbagai kesulitan bangsa. Sementara itu pula, organisasi keislaman agaknya perlu melakukan perenungan apakah model kiprah sosial yang sudah berjalan selama ini masih relevan untuk menjawab tantangan zaman. Tantangan terbesar bukan lagi pada perolehan angka nominal jumlah anggota akan tetapi yang amat penting adalah peranan organiasi keislaman untuk memposisikan dirinya sebagai penggerak perubahan umat kepada kondisi yang lebih baik sekaligus juga sebagai payung untuk melindungi serta mewujudkan kesejukan bagi semua warga negara tanpa kecuali. Perkembangan yang demikian spektakuler munculnya aliran-aliran sempalan adalah merupakan beban berat yang harus dipikul umat Islam. Beberapa pandangan mengatakan bahwa munculnya aliran-aliran sempalan agaknya kurang bijak manakala ditimpakan sepenuhnya kesalahan itu kepada pengikut kelompok-kelompok itu tetapi juga kepada organisasi keislaman yang kurang memiliki persiapan menghadapi aliran-aliran itu. Ternyata sikap umat Islam juga tidak seragam terhadap perkembangan aliran sempalan. Sejalan dengan itu, pemerintah hendaknya mengambil langkah kongkrit dan mendasar untuk mendorong terjadinya perubahan pola berpikir umat sehingga potensi besar umat Islam menjadi sumbangan penting untuk menjemput masa depan Indonesia. Gagasan ini diharapkan akan mendorong berkembangnya citra baru umat Islam di Indonesia.
Posted by
Pw PII Sumut
on
12.44
No comments »
Artikel Terakhir
Label
- Artikel Kader ( 31 )
- Berita Daerah ( 55 )
- Berita Nasional ( 20 )
- Berita Wilayah ( 58 )
- Info ( 59 )
- Kursus ( 15 )
- Training ( 35 )
Kritik dan Saran
Kritik dan saran serta tulisan baik artikel, opini, berita, puisi, cerpen, dan lain-lain. Dapat dikirimkan ke Redaksi ESENSI di email pwpwpii_su@yahoo.co. atau Cp: +6282274167194 jazakallahu khairan katsiiran.
Semangat Musim Training PII se-Sumatera Utara, Advance Training dan Pelantikan PW PII Sumut Periode 2019-2021
Pengurus Wilayah Pelajar Islam Indonesia (PII) Sumatera Utara Periode 2019-2021. Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar :
Posting Komentar