Di Kota Selong sebagai pusat Pemerintahan di Lombok Timur ditempatkan markas tentara NICA. Tentara NICA ini dinamakan Gajah Merah. Tangsi tentara NICA ditempatkan di tengah Kota Selong. Sebelumnya tempat ini adalah milik pengusaha Cina yang masa pendudukan Jepang dijadikan gedung penampungan kapas. Pada masa Jepang, rakyat memang diwajibkan untuk menanam kapas, jarak dan tarum dan lain-lain tanaman yang sangat dibutuhkan logistik tentara pendudukan. Dengan datangnya tentara NICA, gudang milik perusahaan perkapasan NAMCO ini dijadikan markasnya.
Setelah gagalnya penyerangan markas
tentara NICA pada tanggal 2 Juni 1946 dan penangkapan para pemimpin
pejuang di daerah, para pejuang yang masigh bebas dari tangkapan NICA
mengadakan hubungan-hubungan dan koordinasi untuk mengadakan perlawanan
kembali.
Pada hari Kamis, 6 Juni 1946 di rumah H.
Muhammad, desa Pringgesela, penyerbuan itu direncanakan. Bersama Sayid
Saleh, Djumhur Hakim dari Lendangnangka, Muh. Syah dan Maidin dari
Selong, Sayid Salim dari Tebaban, Amaq Arisah dari Anjani membahas
taktik penyerangan. Hari itu juga Sayid Saleh dengan Djumhur Hakim pergi
ke Lenek dan Kalijaga untuk menghimpun laskar yang akan bergabung
dengan Lasykar Sayid Saleh di Pringgesela nanti. Diputuskan penyerbuan
harus dilakukan secepatnya sebelum pihak NICA mengadakan
penangkapan-penangkapan kembali. Strategi penyerbuan diatur.
Lasykar-lasykar pejuang dari Tebaban, Dasan Borok, Suralaga, Anjani,
dibawah pimpinan Sayid Salim, Amaq Arisah, Muh. Syah dan Maidin akan
mengadakan penyerangan dari sektor utara.
Lasykar dari Pringgesela, Lendangnangka,
Kumbung dan Danger serta Kalijaga dan Lenek mengadakan konsentrasi di
Danger untuk kemudian bergerak ke Selong. Pasukan ini akan memasuki Kota
Selong dari Sektor Utara.
Pimpinan pejuang rakyat dari Pancor,
H.Moh.Faisal, mengadakan koordinasi dengan Sayid Saleh di Pringgasela.
Dicapai kesepakatan untuk mengadakan konsentrasi pasukan di Bungbasari
pada tengah malam sebelum penyerbuan.
Selepas Asyar Lasykar BASMI pimpinan
Sayid Saleh dari Pringgasela bergabung dengan Lasykar Banteng Hitam
pimpinan Djumhur Hakim di Pertigaan Kultur. Kemudian berikutnya
menggabung lasykar-lasykar dari Kumbung dan Danger. Menelusuri
jalan-jalan kecil yang aman dari incaran kaki tangan NICA, pasukan
bergerak secara sembunyi-sembunyi melalui Lendang Keseo, Rumeneng, Utara
Padamara ke Timur Paok Pampang. Ditempat ini bergabung lasykar dari
Dasan Lekong pimpinan Lalu Muhdar menuju Pancormanis, ke pertigaan
denggen menuju Batu Belek, ke dusun Ketangga melalui utara gunung kembar
sampai tempat konsentrasi pasukan di Bungbasari. Di Bungbasari strategi
penyerbuan markas NICA di Kota Selong dimantapkan.
Hari Jum’at malam Sabtu tanggal 7 Juni
1946 dini hari dengan suara takbir yang bergemuruh “ Allahu Akbar “
Lasykar-lasykar pejuang Lombok Timur dengan sejata-senjata keris, golok,
kelewang, bamboo runcing dan lain-lain mengempur tentara NICA di
markasnya sendiri. Sayid Saleh, H. Moh. Faisal dan Abdullah, tiga orang
pelopor penyerangan memasuki markas NICA. Mendahuli pasuakan lainnya
Sayid Saleh dan kawan-kaawannya, pejuang muda yang tak pernah absen
dalam setiap perlawanan terhadap penjajah di Lombok Timur mengamuk
dengan kelewangnya membabat tentara NICA yang panik karena seranggan
mendadak ini. Ketika Lasykar-lasykar berikutnya mulai merangsek tentara
NICA ini, pihak mereka mulai menyadari serbuan ini. Tembakan membabi
buta dilepaskan, peluru suar ditembakkan ke udara menyebabkan Kota
Selong dan sekitar markas menjadi terang benderang.
Paasukan Lasykar Rakyar mundur teratur
karena tidak dapat mengimbangi peralatan persenjataan musuh.
Persenjataan memang senjata tradisional, diketahui waktu itu senjata api
berupa pistol hanya sepucuk yang dipegang oleh H.Moh.Faisal.
Malam itu pada pertempuran 7 Juni 1946
di Kota Selong, Sayid Saleh bersama H.Moh.Faisal, dan Abdullah gugur di
markas tentara Gajah Merah. Sementara di pihak musuh sejumlah 8 orang
tewas. Malam itu secara rahasia semua tentara Nica yang tewas ini
diangkaat dan dikuburkan di Mataram.
Pada esok harinya ketiga jenazah pejuang
ini dimakamkan oleh para santri dari perguruan NW Pancor. Atas petunjuk
TGH.Muhammad Zainuddin Abd.Majid, jenazahnya dimakamkan sebagai sayid
di perkuburan umum Selong.
Tidak seimbangnya kekuatan dalam
perlawanan rakyat ini memang sudah dapat dibanyangkan. Terbatasnya
pengalaman perang dari Lasykar dan rakyat sangat terpengaruh, disamping
tersedianya persenjataan. Strategi yang tidak didukung penguasaan
sandi-sandi peranng menyebabkan lemahnya pertukaran informasi antara
Lasykar. Lasykar rakyat hanya dibekali tekad dan semangat, serta
keyakinan akan perjuangan mempertahankan kemerdekaan, tiada pilihan lain
“ Merdeka atau Mati”. (Hubkominfo)
Dikutip dari : Buku Sejarah Perjuangan
Kemerdekaan RI di kabupaten Lombok Timur Nusa Tenggara Barat, Dewan
Harian Angkatan 45 Lombok Timur, 1994. (lotim)
posted by asha
0 komentar :
Posting Komentar