07 Juni 2014

PERJUANGAN DI TANAH PARA SANTRI

Di Kota Selong sebagai pusat Pemerintahan di Lombok Timur ditempatkan markas tentara NICA. Tentara NICA ini dinamakan Gajah Merah. Tangsi tentara NICA ditempatkan di tengah Kota Selong. Sebelumnya tempat ini adalah milik pengusaha Cina yang masa pendudukan Jepang dijadikan gedung penampungan kapas. Pada masa Jepang, rakyat memang diwajibkan untuk menanam kapas, jarak dan tarum dan lain-lain tanaman yang sangat dibutuhkan logistik tentara pendudukan. Dengan datangnya tentara NICA, gudang milik perusahaan perkapasan NAMCO ini dijadikan markasnya.
Setelah gagalnya penyerangan markas tentara NICA pada tanggal 2 Juni 1946 dan penangkapan para pemimpin pejuang di daerah, para pejuang yang masigh bebas dari tangkapan NICA mengadakan hubungan-hubungan dan koordinasi untuk mengadakan perlawanan kembali.
Pada hari Kamis, 6 Juni 1946 di rumah H. Muhammad, desa Pringgesela, penyerbuan itu direncanakan. Bersama Sayid Saleh, Djumhur Hakim dari Lendangnangka, Muh. Syah dan Maidin dari Selong, Sayid Salim dari Tebaban, Amaq Arisah dari Anjani membahas taktik penyerangan. Hari itu juga Sayid Saleh dengan Djumhur Hakim pergi ke Lenek dan Kalijaga untuk menghimpun laskar yang akan bergabung dengan Lasykar Sayid Saleh di Pringgesela nanti. Diputuskan penyerbuan harus dilakukan secepatnya sebelum pihak NICA mengadakan penangkapan-penangkapan kembali. Strategi penyerbuan diatur. Lasykar-lasykar pejuang dari Tebaban, Dasan Borok, Suralaga, Anjani, dibawah pimpinan Sayid Salim, Amaq Arisah, Muh. Syah dan Maidin akan mengadakan penyerangan dari sektor utara.
Lasykar dari Pringgesela, Lendangnangka, Kumbung dan Danger serta Kalijaga dan Lenek mengadakan konsentrasi di Danger untuk kemudian bergerak ke Selong. Pasukan ini akan memasuki Kota Selong dari Sektor Utara.
Pimpinan pejuang rakyat dari Pancor, H.Moh.Faisal, mengadakan koordinasi dengan Sayid Saleh di Pringgasela. Dicapai kesepakatan untuk mengadakan konsentrasi pasukan di Bungbasari pada tengah malam sebelum penyerbuan.
Selepas Asyar Lasykar BASMI pimpinan Sayid Saleh dari Pringgasela bergabung dengan Lasykar Banteng Hitam pimpinan Djumhur Hakim di Pertigaan Kultur. Kemudian berikutnya menggabung lasykar-lasykar dari Kumbung dan Danger. Menelusuri jalan-jalan kecil yang aman dari incaran kaki tangan NICA, pasukan bergerak secara sembunyi-sembunyi melalui Lendang Keseo, Rumeneng, Utara Padamara ke Timur Paok Pampang. Ditempat ini bergabung lasykar dari Dasan Lekong pimpinan Lalu Muhdar menuju Pancormanis, ke pertigaan denggen menuju Batu Belek, ke dusun Ketangga melalui utara gunung kembar sampai tempat konsentrasi pasukan di Bungbasari. Di Bungbasari strategi penyerbuan markas NICA di Kota Selong dimantapkan.
Hari Jum’at malam Sabtu tanggal 7 Juni 1946 dini hari dengan suara takbir yang bergemuruh “ Allahu Akbar “ Lasykar-lasykar pejuang Lombok Timur dengan sejata-senjata keris, golok, kelewang, bamboo runcing dan lain-lain mengempur tentara NICA di markasnya sendiri. Sayid Saleh, H. Moh. Faisal dan Abdullah, tiga orang pelopor penyerangan memasuki markas NICA. Mendahuli pasuakan lainnya Sayid Saleh dan kawan-kaawannya, pejuang muda yang tak pernah absen dalam setiap perlawanan terhadap penjajah di Lombok Timur mengamuk dengan kelewangnya membabat tentara NICA yang panik karena seranggan mendadak ini. Ketika Lasykar-lasykar berikutnya mulai merangsek tentara NICA ini, pihak mereka mulai menyadari serbuan ini. Tembakan membabi buta dilepaskan, peluru suar ditembakkan ke udara menyebabkan Kota Selong dan sekitar markas menjadi terang benderang.
Paasukan Lasykar Rakyar mundur teratur karena tidak dapat mengimbangi peralatan persenjataan musuh. Persenjataan memang senjata tradisional, diketahui waktu itu senjata api berupa pistol hanya sepucuk yang dipegang oleh H.Moh.Faisal.
Malam itu pada pertempuran 7 Juni 1946 di Kota Selong, Sayid Saleh bersama H.Moh.Faisal, dan Abdullah gugur di markas tentara Gajah Merah. Sementara di pihak musuh sejumlah 8 orang tewas. Malam itu secara rahasia semua tentara Nica yang tewas ini diangkaat dan dikuburkan di Mataram.
Pada esok harinya ketiga jenazah pejuang ini dimakamkan oleh para santri dari perguruan NW Pancor. Atas petunjuk TGH.Muhammad Zainuddin Abd.Majid, jenazahnya dimakamkan sebagai sayid di perkuburan umum Selong.
Tidak seimbangnya kekuatan dalam perlawanan rakyat ini memang sudah dapat dibanyangkan. Terbatasnya pengalaman perang dari Lasykar dan rakyat sangat terpengaruh, disamping tersedianya persenjataan. Strategi yang tidak didukung penguasaan sandi-sandi peranng menyebabkan lemahnya pertukaran informasi antara Lasykar. Lasykar rakyat hanya dibekali tekad dan semangat, serta keyakinan akan perjuangan mempertahankan kemerdekaan, tiada pilihan lain “ Merdeka atau Mati”. (Hubkominfo)
Dikutip dari : Buku Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI di kabupaten Lombok Timur Nusa Tenggara Barat, Dewan Harian Angkatan 45 Lombok Timur, 1994. (lotim)



posted by asha
Posted by Pw PII Sumut on 00.47 in     No comments »

0 komentar :