27 Maret 2013

Medan. ESENSI

Pada tahun 1985 pemerintah Orde Baru menerbitkan Undang-Undang Keormasan No. 8 tahun 1985. Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa setiap organisasi kemasyarakatan di Indonesia harus mencantumkan Pancasila sebagai satu-satunya asas atau asas tunggal. Undang-undang ini merupakan bagian dari paket Undang-Undang Politik dimana sebelumnya telah ada undang-undang yang mengatur hal yang sama untuk Partai Politik. Organisasi Kemasyarakatan diberi waktu selama dua tahun untuk menyesuaikan diri sebelum dikenai sanksi.



Terdapat tarik-menarik yang cukup heboh tentang masalah ini. Pada prinsipnya semua organisasi kemasyarakatan sepakat dan mengakui Pancasila sebagai dasar negara namun terjadi penolakan apabila semua organisasi dipaksakan menyesuaikan asas mereka dengan dasar negara. NU adalah ormas Islam yang paling cepat menyesuaikan diri dengan UU tersebut. Sedangkan Muhammadiyah akhirnya menerima setelah melalui proses yang cukup alot. HMI yang merupakan organisasi mahasiswa Islam terbesar akhirnya pecah menjadi dua kubu yakni HMI Dipo di bawah pimpinan Harry Azhar Aziz yang kemudian dilanjutkan oleh M. Saleh Khalid dan HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) di bawah pimpinan Eggie Sudjana. Kubu Dipo menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas sedangkan HMI MPO menolak menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Kedua HMI ini masing-masing mengaku sebagai HMI yang sah.

Di PII sendiri bukan tidak ada perbedaan pendapat tentang masalah ini. Sebagian memilih menyesuaikan diri dan sebagian yang lain menolak. Kubu yang menolak beralasan bahwa negara tidak boleh mengatur secara paksa urusan internal ormas. Sementara kelompok yang menerima beralasan bahwa PII tidak perlu terlalu memperhatikan masalah itu karena pada dasarnya PII akan lebh banyak berkutat pada masalah pelajar. Tarik-tarik ini baru selesai pada saat Deklarasi Cisarua yang memutuskan bahwa PII menolak menyesuaikan diri dengan asas tunggal. Pada 17 Juni 1987, pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri mengeluarkan keputusan pembekuan PII dan larangan segala aktivitas yang mengatasnamakan PII di seluruh wilayah Indonesia.

Setelah dibekukan, secara resmi PII sudah terlarang melakukan berbagai aktivitas di Indonesia. Namun pada kenyataannya kegiatan PII tetap berjalan seperti biasa namun disiasati dengan menggunakan nama samaran. Di beberapa daerah, Pengurus Daerah PII berkegiatan dengan menggunakan nama Kelompok Belajar, Kelompok Pengajian, Kelompok Arisan, serta Kelompok Hobi. Untuk kegiatan Kaderisasi, PB PII mengantisipasi dengan memperkenalkan model kaderisasi yang disebut "Sebelas Bintang, Matahari Plus Rembulan". Model ini dengan segera berkembang menjadi sistem kaderisasi alternatif selama masa pembekuan. Dengan cara ini, kegiatan PII tetap berjalan walaupun dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

Posted by Pw PII Sumut on 19.19 in     2 comments »

2 komentar :

Unknown mengatakan...

TOLAAAAKKK RUU ORMAS SEKARANG JUGAA....!!!

Anonim mengatakan...

Semangat.... Allahu Akbar...