Seperti biasa, saat pagi jalan-jalan cukup ramai. Tampak seorang
pengemudi mobil ditemani seseorang di sampingnya, melarikan mobilnya
amat kencang. Begitu kencangnya, hingga nyaris kehilangan kendali. Guna
menyelamatkan diri, ia terpaksa harus menyalip motor yang ada di
depannya. Pengendara yang disalip atau dilewati itu, yang kebetulan
membonceng anak kecil langsung terperangah, kaget, seraya menumpahkan
sumpah serapahnya. Sadar dengan kejadian tadi, pengemudi mobil itu
menurunkan kecepatannya. Kondisi itu dimanfaatkan sang pengendara motor
untuk mengejarnya, agar leluasa meluapkan amarahnya.
Usai menerima buncahan kemarahan pengendara motor, sang sopir kembali
menaikkan kecepatannya. Bukan untuk ngebut lagi, tapi agar ia bisa
melewati motor tersebut. Karena setelah mobilnya berada di depan motor,
ternyata ia menghentikan mobilnya, lalu turun, dan menyetop si
pengendara motor. Melihat kejadian itu, teman si sopir sudah ketar-ketir
khawatir terjadi perkelahian besar-besaran seperti yang kerap terjadi
di jalan-jalan.
Tapi, rupanya dugaannya meleset, karena begitu motor berhenti,
ternyata sopir tadi justru menjulurkan tangannya, seraya mengakui
kesalahan yang sudah diperbuatnya dan meminta maaf kepada si pengendara
motor. Subhanallah.
Di tengah banyak orang yang sangat berat mengakui kesalahan, bahkan
amat mahir dalam berapologetik dan mencari segudang alasan pembenaran
atas kesalahan yang sudah dilakukannya, peristiwa di atas bisa menjadi
pelajaran indah. Bukan menghindar atau lari dari kesalahan yang
diperbuatnya, melainkan berani meminta maaf atas kesalahan yang
dilakukan. Ia menafikan beragam fenomena perilaku kriminal yang amat
lihai berkelit dengan sejumlah alibi.
Padahal, kesadaran seseorang untuk mengakui kesalahan adalah mutiara
berharga yang mengantarkan dirinya memiliki sikap tawadhu, yang
dijanjikan Nabi: “Tidaklah seseorang itu tawadhu karena Allah, kecuali
Allah akan meninggikannya.” (HR Muslim).
0 komentar :
Posting Komentar