26 Februari 2013

Seperti biasa, saat pagi jalan-jalan cukup ramai. Tampak seorang pengemudi mobil ditemani seseorang di sampingnya, melarikan mobilnya amat kencang. Begitu kencangnya, hingga nyaris kehilangan kendali. Guna menyelamatkan diri, ia terpaksa harus menyalip motor yang ada di depannya. Pengendara yang disalip atau dilewati itu, yang kebetulan membonceng anak kecil langsung terperangah, kaget, seraya menumpahkan sumpah serapahnya. Sadar dengan kejadian tadi, pengemudi mobil itu menurunkan kecepatannya. Kondisi itu dimanfaatkan sang pengendara motor untuk mengejarnya, agar leluasa meluapkan amarahnya.

Usai menerima buncahan kemarahan pengendara motor, sang sopir kembali menaikkan kecepatannya. Bukan untuk ngebut lagi, tapi agar ia bisa melewati motor tersebut. Karena setelah mobilnya berada di depan motor, ternyata ia menghentikan mobilnya, lalu turun, dan menyetop si pengendara motor. Melihat kejadian itu, teman si sopir sudah ketar-ketir khawatir terjadi perkelahian besar-besaran seperti yang kerap terjadi di jalan-jalan.

Tapi, rupanya dugaannya meleset, karena begitu motor berhenti, ternyata sopir tadi justru menjulurkan tangannya, seraya mengakui kesalahan yang sudah diperbuatnya dan meminta maaf kepada si pengendara motor. Subhanallah.

Di tengah banyak orang yang sangat berat mengakui kesalahan, bahkan amat mahir  dalam berapologetik dan mencari segudang alasan pembenaran atas kesalahan yang sudah dilakukannya, peristiwa di atas bisa menjadi pelajaran indah. Bukan menghindar atau lari dari kesalahan yang diperbuatnya, melainkan berani meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan. Ia menafikan beragam fenomena perilaku kriminal yang amat lihai berkelit dengan sejumlah alibi.

Padahal, kesadaran seseorang untuk mengakui kesalahan adalah mutiara berharga yang mengantarkan dirinya memiliki sikap tawadhu, yang dijanjikan Nabi: “Tidaklah seseorang itu tawadhu karena Allah, kecuali Allah akan meninggikannya.” (HR Muslim).
Posted by Pw PII Sumut on 14.50 in     No comments »

0 komentar :